Cagar Budaya Kelenteng Hok Tek, Tinggalan Peradaban Cina di Kota Jambi

Admin

25 September 2025

DISPARBUD KOTA JAMBI – Menurut UU N0.10 Tahun 2010, Cagar budaya merupakan warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama serta kebudayaan. Hubungan Cina dan Nusantara memliki historis yang panjang, sehingga tentu memiliki tinggalan secara arkeologis, salah satunya yaitu bangunan kelenteng.

Kelenteng adalah sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah persembahyangan bagi pemeluk ajaran Tri Dharma, yaitu terdiri dari Konfucianisme, Taonisme, dan Buddhisme. Salah satu bangunan tersebut ternyata dimiliki oleh Kota Jambi, biasa dikenal dengan nama Kelenteng Hok Tek.

Bangunan ini merupakan salah satu bangunan objek cagar budaya kota Jambi yang telah ditetapkan berdasarkan surat keputusan Wali Kota Jambi Nomor 283 Tahun 2023 pada tanggal 21 Juli 2023. Berdasarkan data kajian informasi sejarah, Kelenteng Hok Tek merupakan kelenteng pertama di kota Jambi yang telah dibangun sejak abad 1838 M. Bangunan tersebut terletak di Jalan MH. Thamrin RT.14, RW.05, Kelurahan Beringin, Kecamatan Pasar Jambi, Kota Jambi. Secara astronomis bangunan ini berada pada 01°35’37” S 103°36’42” E dengan elevasi ketinggian 11 mdpl. Dengan memiliki panjang 7,30 m, lebar 11,25 m, tinggi 7,30 m dan dengan luas lahan 374 m2, Kelenteng Hok Tek dilapisi bahan dasar beton dengan kondisi terawat. Status kepemilikian kelenteng dipegang oleh Yayasan Tri Dharma.

Objek cagar budaya tersebut tentu memiliki nilai sejarah yang sangat penting sebagai salah satu identitas kebudayaan kota Jambi. Pada bangunannya, menunjukkan  ciri khas dari budaya masyarakat Tionghoa yang berkembang di Kota Jambi sejak tahun 1883 hingga awal abad ke-20 Masehi. Difungsikan sebagai pusat peribadatan dan kebudayaan masyarakat Tionghoa, Kelenteng Hok Tek memiliki kontribusi yang penting pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda di masa lalu. Ia digunakan sebagai salah satu tempat persembunyian dan penyimpanan persenjataan para pejuang rakyat Jambi.

Kemudian, bangunan ini telah berumur sekitar 200-300 tahun, dengan ditemukannya salah satu bukti berupa sebuah papan yang menyebutkan pertanggalan 154 tahun lalu, terdapat sebuah kalimat pada sebelah kiri papan menjelaskan tentang seseorang yang memberikan sumbangan saat berkunjung ke kelenteng, sedangkan pada sebelah kanan papan terdapat tulisan yang mencantumkan tahun kujungannya, yaitu 2489 Imlek (1838 M).

Ciri khas yang sangat unik pada bangunannya, memiliki unsur gaya arsitektur Tionghoa. Orang Tionghoa pada umumnya membangun sebuah kelenteng menggunakan feng shui, ditandai dengan bentuk atap ruang depan yang berbentuk jurai dan pelana (hsuan shan), sedangkan ruang utama dan samping atapnya berbentuk pelana dengan dinding tembok (ngang shan). Kedua hubungan membentuk sebuah simbol naga bermahkota bertanduk dan bertaring. Bangunan ini terdiri dari teras dibagian depan, dan dua buah ruangan dibagian dalam bangunan. Terdapat 4 tiang penyangga dengan ornamen yang khas aksara Cina dibagian teras depan bangunan.

Posisi Kelenteng Hok Tek menghadap ke arah timur laut, keberadaan arah hadap berdasarkan letak altar dalam tata ruang bangunan kelenteng Cina bercirikan selalu menghadap kearah gerbang masuk halaman kompleks. Dalam tataran filosofis, kelenteng ini dipandang sebagai entitas kesejarahan diaspora masyarakat Tionghoa di Jambi pada abad ke-19 Masehi. Keberadaan kelenteng ini penting sekali untuk dipahami secara mendasar bahwa Kota Jambi mencerminkan sebuah daerah yang sangat kosmopolit pada masa lampau. Kelenteng merupakan sebuah bukti yang menunjukkan selain kebudayaan melayu terdapat kebudayaan dan kepercayaan lainnya yang juga berkembang di Kota Jambi, salah satunya adalah kebudayaan Cina.

Referensi: 

Surat Keputusan Wali Kota Jambi Nomor 283 Tahun 2023

Data Registrasi Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi, 2019

BPCB Jambi, 2012

* Penulis merupakan mahasiswi magang Prodi Arkeologi Universitas Jambi