Jejak Munculnya Pedagang Kaki Lima di Bumi Melayu Jambi

Admin

09 September 2025

DISPARBUD KOTA JAMBI - Sejarah pedagang kaki lima (PKL) dimulai dari kebijakan kolonial Inggris di bawah Thomas Stamford Raffles pada tahun 1811-1816 yang mewajibkan pembangunan "five-foot way" (jalur pejalan kaki selebar lima kaki atau sekitar 1,5 meter) di Batavia. Namun, ruang ini kemudian dimanfaatkan oleh para pedagang, sehingga muncullah sebutan "pedagang kaki lima" karena mereka berjualan di jalur selebar lima kaki tersebut. Fenomena ini terus berkembang hingga masa kolonial Belanda dan pasca-kemerdekaan Indonesia, seiring urbanisasi dan kebutuhan masyarakat akan barang dan makanan yang terjangkau.

Disisi lain, Anthony Reid, mengatakan bahwa perdagangan merupakan hal yang vital bagi Asia Tenggara dimana di dalamnya termasuk Nusantara. Hal ini dilihat dari peran laut yang menjadi satu-satunya jalur atau lalu lintas yang bisa dilalui sebagai penghubung antar negara maritim.

Posisi Nusantara yang strategis menjadikan daerah-daerah di sekitarnya sebagai tempat perniagaan yang selalu ramai didatangi oleh para pedagang asing. Jalur maritim antara Cina dan pusat-pusat pemukiman penduduk seperti India, Timur Tengah dan Eropa mempengaruhi meningkatnya perdagangan maritim Internasional.

Produk yang menjadi andalan di Asia Tenggara berupa cengkeh, pala, kayu cendana, kayu sapan, kamper dan pernis mendapatkan pasaran tinggi sejak zaman Romawi dan Dinasti Han, Cina.

Semakin berkembangnya Nusantara sebagai daerah perniagaan yang ramai khususnya di Asia Tenggara, banyak bermunculan perkampungan- perkampungan Muslim di sepanjang pantai Nusantara. Banyak ahli sejarah mengajukan teori bahwa pedagang sebagai agen pembawa Islam ke Jambi.

Hal ini juga yang membawa dunia perdagangan ke Jambi. Tentu hal ini berawal dari Aceh terlebih dahulu, kemudian berkembang ke Sumater Barat, hingga ke Jambi.

Di dalam buku Gusti asnand yang berjudul “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Penerbit Ombak Juli 2007” menyinggung bahwa awal mula masuknya perdagangan ke Jambi berawal dari perkembangan perdagangan di Sumatera Barat yang pesat hingga berkembang sampai ke Jambi.

Tentu hal ini juga masuk dalam logika kita, karena letak geografi Sumatera Barat sangat dekat dengan wilayah Jambi, khusunya daerah yang pertama kali terkena perkembangan perdagangan ini adalah adalah wilayah Pasar Angso Duo.

Perkembangan Perdagangan di Bumi Melayu Jambi

Perdagangan di melayu Jambi mulai berkembang sejak awal kejayaan kesultanan jambi pada abad 16 sampai abad 17. Sekitar tahun 1550 sampai akhir abad 17, perdagangan di kesultanan jambi mengalami keemasan, kesultanan jambi menjalin perdagangan dengan berbagai daerah bahkan ke bangsa asing yakni bangsa portugis, inggris, dan hindia timur belanda terutama penjualan rempah-rempah.

Bahkan pelabuhan jambi menjadi terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh terutama lada yang menjadi komuditas dagang tertinggi . Pada abad ke-18 M, lada telah menjadi komoditas ekspor penting Kesultanan Jambi.

Berdasarkan laporan VOC (Vereenige Oost Indische Compagnie), sultan Jambi mendapat keuntungan sebanyak 30-35% dari penjualan lada. Pada periode tersebut, daerah huluan Jambi juga dikenal sebagai penyalur merica.Khusus aktivitas pendulangan emas, umumnya dilakukan oleh orang Minangkabau.

Daerah huluan penghasil emas utama adalah Koto Kandis, bukti aktivitas pendulangan emas di sana dapat dilihat dari benda-benda arkeologis yang ditemukan seperti pecahan keramik dan batuan berbentuk botol yang biasa dipakai untuk menyimpan cairan merkuri sebagai salah satu bahan baku pembuatan emas.

Sejak abad ke-17, Kesultanan Jambi sudah melakukan perdagangan atas biji emas sampai ke Eropa. Semua hasil pertanian, perikanan, perkebunan, hasil hutan, kerajinan, dan emas menjadi komoditas ekspor Kesultanan Jambi yang dijual sampai ke Malaka dan Singapura dan Eropa melalui Pelabuhan Jambi. Komoditas ekspor tersebut ditukar oleh sultan-sultan Jambi dengan beras, garam, kain/tekstil, dan perkakas dari logam dan besi.

Khusus untuk kain sutera dan mori, dibeli langsung dari pedagang Eropa/Belanda dan Cina untuk membuat tenun ikat, sulam benang emas, dan kain bermotif bunga atau batik. Oleh karena itu, perdagangan menjadi satu-satunya aktivitas penduduk yang tinggal di daerah ibukota kesultanan jambi.

Kegiatan perdagangan ekspor-impor tersebut melibatkan sultan dan bangsawan, serta pedagang lokal (dari huluan), pedagang Nusantara lainnya, serta pedagang asing.Ketika wilayah jambi di kuasai oleh Belanda maka perdagangan dan komuditas perdagangan di kendalikan oleh Belanda. sistem ekonomi subsistensi berganti menjadi sistem ekonomi komersial.

Penduduk mulai mengenal dan menanam karet setelah pemerintah Hindia Belanda mewajibkan penanaman karet di beberapa afdeeling dan onderfdeeling di Keresidenan Jambi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat Eropa akan karet.

Karet menjadi tanaman komersial penting satu-satunya di Keresidenan Jambi sampai periode kolonial akhir Selama dasawarsa 1920-an, Jambi menjadi produsen karet rakyat terbesar di Hindia Belanda, dilihat dari jumlah pohon karet yang ditanam.

Pemerintah Hindia Belanda juga menganjurkan penanaman tanaman perkebunan lainnya seperti kopi dan tembakau di Afdeeling Kerinci, Sarolangun, Tebo, dan Bangko yang hasilnya dijual sampai ke luar negeri, selain pertanian perdagangan di melayu jambi juga bergerak di bidang tambang seperti minyak dan emas. Pemerintah Hindia Belanda bahkan membangun permanen Pelabuhan Jambi tahun 1926 seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan ekspor khususnya karet. Pemerintah Hindia Belanda juga mulai mendirikan pasar di sekitar pelabuhan tahun 1930. Tidak hanya pasar, juga ada pertokoan yang dibangun.

Bangunan pasar pada saat itu masih berupa los-los atau kedai-kedai dari papan dan kayu, sedangkan pertokoan dibangun berderet memanjang sesuai jalur-jalur yang ada di pasar dijual bahan-bahan kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan, garam, sayuran, ikan, dan lain-lain.

Sedangkan di pertokoan menjual barang-barang kelontong perabot rumah tangga, emas, kain, dan barang mewah lainnya yang didatangkan langsung dari Cina dan Singapura.

Namun terdapat perbedaan dalam hal realitas kesibukan antara pasar dan pertokoan yaitu transaksi perdagangan di pasar hanya berlangsung mulai pagi sampai siang hari sedangkan aktivitas di pertokoan tidak dibatasi waktu dan dibuka setiap hari tergantung penjualnya saja.

Pasca kemerdekaan perdagangan di jambi di jambi berpusat pada pasar tradisional yang dibangun Pemda Jambi seperti Pasar Angso Duo, Pasar Lopak, Pasar Buah yang lokasinya dengan Pelabuhan Jambi.

Selain itu juga ada pasar lain yang dibangun di kecamatan lain yang jauh dari Pelabuhan Jambi yaitu Pasar Talang Banjar di Kecamatan Jambi Timur, Pasar Inpres TAC di Kecamatan Telanaipura, dan Pasar Kebun Handil di Kecamatan Kota Baru, serta Pasar Olak Kemang di kawasan Jambi seberang di Kelurahan Olak Kemang.

Bangunan pertokoan di kawan pasar lama sudah dibangun permanen dan lebih teratur dari segi tata ruangnya. Beberapa penduduk bahkan mendirikan bangunan tempat tinggal bertingkat di sekitar pertokoan.

Barang yang dijual semakin beragam seiring dengan kebutuhan penduduk yang terus meningkat, mulai dari barang sandang (dasar kain dan pakaian jadi), barang pecah belah, barang elektronik, perhiasan, dan lain-lain.