Konvensi UNESCO 2005, Kepala Unit Kebudayaan Kantor UNESCO Jakarta Moe Chiba: Pentingnya Keadilan Remunerasi Bagi Pelaku Budaya Era Digitalisasi

Admin

21 Oktober 2025

DISPARBUD KOTA JAMBI - Konvensi Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) 2005 tentang Perlindungan dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya menjadi tonggak penting dalam menjaga keberagaman budaya di era globalisasi. Konvensi ini juga menginspirasi sejumlah kebijakan vital bidang kebudayaan di Indonesia.

Duta Besar Indonesia untuk UNESCO 2004-2008 M Aman Wirakartakusuma menjelaskan, beberapa kebijakan yang terinspirasi dari Konvensi UNESCO 2005 itu adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan, dan Indeks Pembangunan Kebudayaan. Kemudian, program Dana Indonesiana dan pemberian layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan bagi pelaku budaya.

”Ini harus dipelihara dan dikembangkan dengan dukungan dari pemerintah secara konsisten,” ujarnya , Jakarta, Senin (20/10/2025).

Konvensi UNESCO 2005 menegaskan arti peting kebudayaan dalam pembangunan kedepan. Aman adalah Ketua delegasi Indonesia pada 7th Ordinary Session of the Conference of Parties to the UNESCO 2005 Convention yang digelar di Paris, Perancis, pada 2019.

Konvensi tersebut menekankan, bahw keragaman budaya merupakan sumber kekayaan dan inovasi bagi umat manusia. Hal ini relevan pada era globalisasi dan digitalisasi saat ini. Budaya lokal maupun tradisional harus dipastikan berkembang dan tetap hidup di tengah arus globalisasi.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2005 sejak tahun 2011 melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2011. UNESCO menerimanya pada awal 2012. Indonesia menjadi negara ke-120 yang meratifikasi konvensi itu. Negara yang telah meratifikasinya wajib memberikan laporan periodik empat tahunan. Perlindungan dan promosi keanekaragaman ekspresi budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kebudayaan, tetapi juga melibatkan sektor lain, seperti ekonomi kreatif, pendidikan, perdagangan, komunikasi, dan teknologi informasi. Oleh sebab itu, keterlibatan lintas kementerian/lembaga sangat penting agar laporan yang dikirim ke UNESCO mencerminkan kondisi nyata ekosistem budaya nasional.

Aman memaparkan, Konvensi UNESCO 2005 harus dimasukkan dalam berbagai landasan kebijakan, baik berupa peraturan, panduan, standar, maupun praktik baik. Hal ini memerlukan keterlibatan akademisi untuk menganalisisnya dari berbagai sudut pandang.

”Kemudian juga aktor di komunitas budaya. Bagaimana mereka dilindungi supaya tetap bisa berkreasi. Di sinilah kita harus berinovasi untuk melindungi keberagaman budaya itu,” katanya.

Selain itu, inovasi tidak hanya berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam berkarya. Hal tersebut juga meliputi pembaruan kebijakan finansial, memerhatikan komunitas budaya, serta dukungan bidang politik.

”Inovasi itu bisa dalam hal kultur, sosial, dan ekonomi. Kemudian yang terakhir, bagaimana memaksimalkan digitalisasi platform karena itu disukai anak muda sehingga bisa diakses lebih luas,” katanya.

Aman menambahkan, upaya melindungi budaya lokal di era globalisasi harus melibatkan generasi muda. Dikarenakan masih banyak anak muda Indonesia sangat menyukai budaya bangsa lain. Hal itu sulit dikontol dibendung di era digital.

”Kalau anak-anak muda ini tidak diajak bersama-sama, dilibatkan, dan diberdayakan, ini akan semakin mengambil jarak dengan budaya lokal. Seharusnya konvensi ini kita manfaatkan untuk memperkuat peran mereka,” tuturnya.

Sementara, Direktur Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Endah TD Retnoastuti menjelaskan, transformasi teknologi membawa peluang besar dalam distribusi karya budaya. Namun, kondisi ini sekaligus menuntut kebijakan yang melindungi kebebasan berekspresi dan keberlanjutan kreativitas manusia.

”Hal ini menjadi rambu, konvensi ini sebagai momentum memperbarui komitmen kita untuk memperjuangkan kebebasan kebudayaan, tata kelola kebudayaan yang inklusif, dan juga memastikan keberagaman ekspresi kita bermanfaat bagi masyarakat,” tuturnya.

Endah menambahkan, bagi Indonesia, Konvensi UNESCO 2005 bukan hanya dokumen hukum, akan tetapi deklarasi filosofis bahwa keberagaman ekspresi budaya adalah koneksi keberagaman. Budaya perlu dijadikan pilar utama dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

Kemudian, Kepala Unit Kebudayaan Kantor UNESCO Jakarta Moe Chiba mengungkapan, 20 tahun Konvensi UNESCO 2005 telah membawa banyak perubahan bagi negara-negara yang meratifikasinya. ”Sebanyak 93 persen negara anggota kini memasukkan kebudayaan dalam strategi pembangunan nasional,” katanya.

Akan tetapi, perkembangan teknologi juga membawa tantangan baru dalam ekosistem kebudayaan. Salah satunya adalah mewujudkan keadilan remunerasi bagi pelaku budaya yang karyanya didistribusikan di platform digital.